Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin
Oleh Yenni
Siswanti dan Rahmat Ubaidillah
(Hal-52) Di tengah meriahnya kuliner orang-orang
kaya, sejenak lihatlah “Kuliner” orang-orang miskin. Mimpi mereka sederhana,
“Bila ada uang, saya Cuma ingin membelikan telur dan ikan Tongkol untuk
anak-anak.” Begitu kata salah satu mereka.
Mimpi
Makan Enak Orang-Orang Miskin |
(Hal-53) Panas terasa cukup terik, Ketika Tarbawi memasuki wilayah Tangerang Utara. Tepatnya di kecamatan Mekar Baru, Desa Gandasari. Kebanyakan mata pencaharian warga Gandasari adalah buruh tani. Mereka menggarap lahan yang bukan milik mereka sendiri. Sistem pengairan sawah yang lebih banyak mengandalkan turunnya hujan, disebut juga sawah tadah hujan, membuat masa panen daerah itu hampir hanya satu tahun sekali. Maka tidak heran sepanjang Tarbawi melewati daerah ini, banyak terlihat sawah yang kering dan tidak ditanami padi atau tumbuhan lainnya.
Bila musim kemarau tiba, banyak penduduk des aitu yang beralih profesi
menjadi kuli atau membuat bata. Dari sekitar 1400 kepala keluarga yang menjadi
penduduk des aitu, 800 kepala keluarga diantaranya adalah keluarga miskin.
“hampir setengahnya penduduk di sini termasuk kategori miskin,” ujar Supardi,
Kepala Desa Gandasari. Dikategorikan demikian karena pendapatan penduduk masih
di bawah 500 ribu sebulan. Supardi menambahkan, walaupun penghasilan utamanya
dari pertanian, tapi kondisi teknis pengairan di daerah itu cukup
memprihatinkan.
Mungkin ada yang merasa aneh, di tengah peradaban modern seperti tampak
gemerlap dalam siaran televisi, miskin artinya ada orang-orang yang masih susah
untuk mendapat apa yang bisa dimakan. Tapi itulah kenyataannya.
Baca Juga : Hanya Karena Kehendak Allah
Yani (56 tahun), seoerang Ibu di Gandasari itu, misalnya. Di depat
rumahnya yang terbuat dari bilik bambu, terlihat padi yang sedang dijemur. Sehari-harinya
Yani mengumpulkan sisa-sisa padi yang tercecer di sawah atau jalan Ketika musim
panen tiba. Padi yang dikumpulkannya Bersama anak-anaknya sampai berhari-hari
itulah yang menjadi makanan mereka sehari-hari. “Padi yang dikumpulkan ini yang
buat dimakan, bukan untuk dijual lagi,” ujar Yani. Memang, selama seminggu
gotong royong mereka bisa mengumpulkan
padi sekitar satu karung. Tapi hanya terjadi pada saat panen tiba. Dan
itulah cadangan makan mereka hingga musim panen berikutnya.
Yani mengaku untuk bisa bertahan hingga melewati krisis panen pada musim
kemarau, kadang mereka membeli nasi aking, mereka masak sayuran liar di sawah
seperti genjer dan kangkong yang diminta dari pemilik sawah. Dengan penghasilan
suaminya sekitar 10 ribu sehari, mereka benar-benar harus berbagi dengan enam
orang anaknya di rumah itu. Jangankan makan daging, menurut Yani, Ikan bandeng
saja sudah menjadi hidangan yang cukup mewah bagi Yani dan keluarganya.
Makanan Sisa
Di tempat lain di daerah Bekasi, siang itu. Di kampung Ujung Harapan
yang hanya berjarak 30 km dari daerah pinggir Ibukota Jakarta, terlihat sebuah (Hal 54) perayaan pesta pernikahan sederhana, makanan
yang disajikan juga tidak terlalu mewah. Hanya ada sayur dan opor ayam sebagai
makanan untuk tamu. Sekitar 5 anak-anak usia sekolah dasar bertelanjang kaki
sibuk mengambil sisa para tamu menikmati hidangan. Namun mereka mengambil
piring kotor bukan untuk dicuci. Mereka mengambil sisa-sisa makanan para tamu untuk
mereka makan. Di tempat agak ke belakang dari para tamu, mereka kumpulkan
sisa-sisa makanan untuk mereka santap lagi bersama teman yang lain. Sesekali
terdengar celotehan mereka tentang apa yang di dapat, “Asyik, aku dapat sisa
ayam yang masih banyak dagingnya.”
Miris. Dengan penuh keriangan mereka terus melakukan aktifitasnya,
mengumpulkan makanan sisa. Pemilik hajatan yang kondisi ekonominya tidak jauh
lebih baik dari mereka juga tidak bisa mencegah karena memang anak-anak itu
butuh makan. “Kalau di daerah sini ada hajatan pernikahan, pakai ayam itu sudah
mewah. Biasanya cuma nasi sama sayur lodeh,” Kata Mak Iyus, Pemilik hajatan
itu.
Baca Juga : Profesional
Masih di Bekasi, tepatnya di daerah pemulung Bantar Gebang, Tarbawi
menemui keluarga Awi (50 Tahun) ia dan lima anaknya tinggal di rumah yang lebih
tepat disebut “bedeng” karena hanya terbuat dari sisa-sisa kayu. Penghasilannya
yang tidak tetap sekitar 10 sampai 30 ribu sehari membuat bapak lima anak ini
harus berpikir keras untuk bisa menghidupi keluarganya. Di dapurnya terlihat
tumpukan batu bata yang sudah menghitam untuk dijadikan tempat perapian. “Pakai
kayu untuk masak, soalnya minyak mahal,” kata istrinya. Menu keseharian mereka
juga sangat sederhana. Yang Tarbawi lihat hanya gorengan tepung, sayur dan
sedikit sambal. “Kalau pendapatan lagi sedikit ya makan nasi panas sama garam. Tapi
alhamdulillahbiar gitu anak-anak tetap mau,” Keinginan untuk makan enak sih ada
tapi kondisinya seperti ini bagaimana,” tambahnya.
Baginya bisa menyambung hidup dengan keluarganya sudah sangat disyukuri. “Biarpun
miskin saya tetap bersyukur kepada Allah, yang penting cari makanan yang baik,
biar anak-anak nggak sakit,” tambahnya. Makanya, Awi tidak pernah mengambil sisa-sisa
sampah makanan yang memang ada di lokasi pembuangan sampah ini. “Kalau warga
lain mungkin selalu mengambil sisa-sisa sampah makanan untuk dimakan, tapi saya tidak mau ambil
karena takut banyak penyakitnya. Asal sehat makan sama garam tidak apa-apa,”
jelasnya.
Di sela-sela pembicaraan dengan Tarbawi, Dede, anak bungsu mereka minta makan.
Tarbawi melihat Dede menyantap makan siangnya dengan lahap, kuah sayur berisi
sedikit dedaunan, tepung goreng yang tak layak di sebut bakwan, dan sesekali
dikerubungi lalat-lalat yang memang menjadi keseharian mereka di tempat pembuangan
sampah.
Makan Nasi hanya Bisa Dua Kali dalam Seminggu
Di Bogor Selatan, menemui Mulyadi (60 tahun). Pekerjaan sehari-harinya
penjual minyak wangi. Ia mengayuh (Hal 55)
sepedanya ke daerah Empang, Bogor untuk menjajakan minyak wangi dengan menempuh
kurang lebih 30 km setiap harinya. “Saya berjualan naik sepeda, karena tidak
mampu menaiki angkot,” kata Mulyadi. “Sering juga pulang hanya mendapatkan uang Rp 3.000. Kalau sudah begitu, biasanya
saya meminta beras kepada saudara,” tambahnya.
Setelah menikah hampir 30 tahun. Ia dikaruniai 12 orang orang anak. Dua sudah
bekerja. Empat masih bersamanya tinggal di rumah ukuran 2 x 4 M. Rumah itu
warisan yang diterima istrinya. Tidak ada listrik, lantai rumahnya masih tanah.
Hanya sedikit bagian yang disemen acik. Kalau ke MCK harus ke masjid. Enam orang
anak lainnya meninggal dunia saat masih kecil. “Kata dokter anak-anak saya
meninggal akibat kondisi kesehatan dan gizi mereka yang kurang baik. Mungkin karena
asap lampu tempel kali ya? Juga kurang makanan bergizi,” jelasnya.
Baca Juga : Karena Syetan Itu Musuh
“kalau mikirin anak-anak saya suka sedih,” tutur Mulyadi. “Untuk urusan
makan, kami lebih prihatin. Dalam satu minggu hanya dua kali kami bisa makan
nasi plus ikan asin bakar. Selebihnya makan bubur yang dibubuhi garam dan
kecap,” katanya.
Menurut Mulyadi, anak-anaknya tumbuh dengan kondisi yang buruk. Mereka sering
lesu. “mereka sering protes, kenapa sih makan bubur melulu?” Saya bilang,”Nanti
kalau ada acara Rajaban kita bisa makan daging, Nanti kalau bapak ada rezeki,
kita beli sayur.”
Mulyadi hanya punya harapan sederhana. “Kalau ada rezekinya saya ingin
sekali anak-anak bisa makan nasi (Hal 56)
setiap harinya. Saya ingin mereka bisa makan sayur, tempe, tahu dan daging ayam
paling tidak seminggu sekali.
Mereka bisa makan sedikit enak kalau ada tetangga yang kasih, karena itu, anaknya
yang bungsu sering bilang, ‘Kalau bisa makan seperti ini terus (seperti yang
dikasih tetangga) enak kali ya pak.’
“Saya hanya bisa tersenyum, tapi hati rasanya teriris. Kami sangat jarang
makan daging.” Saat seperti lebaran, ada acara Maulid, Rajaban atau kondangan
kami baru bisa makan daging.” Karena itu, anak-anak Mulyadi sangat senang kalau
musim Maulid dan Rajaban. Sebab, itu artinya saat untuk bisa makan daging telah
tiba.
Ketika ditanya terkait dengan datangnya Ramadhan, Mulyadi dengan tatapan
kosong menjawab,”Sebelum Ramadhan ini, saya ingin sekali membawa anak-anak ke
rumah makan. Saya ingin mereka senang. Paling tidak sekali seumur hidup mereka,
sebelum saya meninggal dunia. Anak yang bungsu pingin sekali makan di mall,
sampai saat ini belum terkabulkan. Semoga mereka bisa bersabar.”
Baca Juga : Membaca Bahasa Cinta
Pernah suatu hari semalaman, anak-anak Mulyadi tidak bisa tidur karena kelaparan.
Paginya Mulyadi mengajak mereka jalan-jalan hanya untuk mengusir rasa lapar
itu. Hal ini sudah beberapa kali ia lakukan. Begitu pun, ia tetap yakin kepada
Allah, bahwa Dia lah yang memberikan rezeki. “Meski kondisi saya seperti ini, saya berusaha bersabar dan tetap
ridho kepada Allah. Sambil terus berusaha, saya berdoa semoga Allah memperbaiki
keadaan kami.”
Makanan Impian
“Kalau saja ada sedikit rezeki, saya ingin belikan anak-anak telur dan
ikan tongkol,” begitu kata Uju, seorang Ibu kepada Tarbawi, yang juga tinggal
di sebuah kawasan di Bogor Selatan, ketika Tarbawi tanya makanan apa yang
diimpikannya. Ternyata sangat sederhana. Uju, seorang pembantu rumah tangga. Anak-anaknya
terindikasi gizi buruk.
Kehidupannya semakin sulit, setelah suaminya jatuh sakit. “Pernah satu
hari penuh, kami sekeluarga tidak makan sama sekali. Hanya ketemu kerupuk. Suami
saya bilang sama anak-anak, jangan terlalu sering main di luar. Nanti ngiri
melihat banyak orang yang makan enak.” Dalam suasana seperti itu, Uju tetap
menjaga diri. “Yang terpenting (Hal 57) adalah tetap menjaga rasa malu untuk
meminta-minta apalagi sampai mencuri. Pantang.” Ujarnya.
Setahun setelah suami sakit Uju memutuskan untuk bekerja. “Saya harus
membiayai kelima orang anak, satu diantaranya tubuhnya lemas. Karena kondisi
makanan yang buruk. Suami juga tergolek lemas tak berdaya. Lama juga saya
mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji 200 ribu per bulan.
Kondisinya semakin berat, ketika pada tahun 2007, suaminya meninggal
dunia. Ia juga harus menanggung ibunya. Kelima anak itu kini menjadi tanggung
jawab Uju sepenuhnya. Kecuali yang tersebar, sudah bekerja, bisa memberi
tambahan 150.000.
“Uang itu ditambahkan dengan gaji saya yang 200.000, harus cukup untuk
kebutuhan sehari-hari untuk tujuh orang. Sebenarnya, untuk seminggu saja tidak
cukup. Meski begitu, saya berusaha teguh,” Jelas Uju.
Kondisi seperti ini membuat menu makanan anak uju benar-benar apa adanya.”Saya
bilang sama anak-anak, ‘Nggak apa-apa nggak makan dengan lauk yang penting ada
nasi.’ Itu yang selalu saya tanamkan.”
“Saya sering sedih, kalau melihat ada acara sinetron ada orang yang sedang
makan di restoran. Anak-anak suka melihat dengan mata tajam, “Mak hayang itu (Mak
mau itu.)’ Kalau sudah begitu, saya hanya bisa menangis.’Ya Allah semoga kau
berikan kami rezeki yang cukup. Semoga para orang kaya itu ingat, kalau ada
orang-orang tidak mampu di sekitar mereka.”
Tidak jauh berbeda dengan Uju, kehidupan Onasih atau biasa di sebut Emak
juga memprihatinkan. Di gubuk ukuran 2 x 5 meter, ia tinggal bersama anak,
menantu dan cucunya. “Sehari-hari emak lebih sering ketemu ikan asin, tahu,
tempe. Biasanya emak bisa makan daging ayam setelah ada kiriman dari anak. Itu pun
nggak tentu waktunya. Paling cepat sebulan sekali. Selebihnya kalau ada
acara sedekahan, atau ada pemberian dari tetangga terdekat.
Baca Juga : Kemudahan Yang Menyulitkan
Uniknya, ada satu hal yang belum kesampaian hingga saat Tarbawi temui. “Emak
ingin sekali mencicipi makan pizza. Sampai kebawa mimpi,” katanya. Emak sering
lihat iklan pizza di televisi tetangga atau mendengar kelezatannya dari orang
lain. “Kata orang pizza itu enak, Emak jadi pinggiiiin, deh,” katanya sambil
tertawa.
Mungkin banyak orang yang merasa aneh. Bahwa di tengah kemajuan jaman yang
riuh ini, miskin artinya bermimpi tentang makan telur dan daging. Dan entah
kapan mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Mungkin banyak tidak sadar. Bahwa di
tengah selera makan kita yang sok elit dan memilih-milih dengan rumit, miskin
artinya mimpi membawa anak-anak untuk makan di rumah makan, meski sekali seumur
hidup. Setidaknya menjadi kenangan bila kelak ayahnya telah tiada. Bukan kenangan
tentang kemewahan. Tapi kenangan tentang cinta tulus dan kasih sayang orang
tua. Meski sekadar dalam bentuk memberi makan yang enak, sekali saja. ***
Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar