Senin, 03 Juni 2024

Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin

 

Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin

Oleh Yenni Siswanti dan Rahmat Ubaidillah

 

(Hal-52) Di tengah meriahnya kuliner orang-orang kaya, sejenak lihatlah “Kuliner” orang-orang miskin. Mimpi mereka sederhana, “Bila ada uang, saya Cuma ingin membelikan telur dan ikan Tongkol untuk anak-anak.” Begitu kata salah satu mereka.  

Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin
Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin


(Hal-53) Panas terasa cukup terik, Ketika Tarbawi memasuki wilayah Tangerang Utara. Tepatnya di kecamatan Mekar Baru, Desa Gandasari. Kebanyakan mata pencaharian warga Gandasari adalah buruh tani. Mereka menggarap lahan yang bukan milik mereka sendiri. Sistem pengairan sawah yang lebih banyak mengandalkan turunnya hujan, disebut juga sawah tadah hujan, membuat masa panen daerah itu hampir hanya satu tahun sekali. Maka tidak heran sepanjang Tarbawi melewati daerah ini, banyak terlihat sawah yang kering dan tidak ditanami padi atau tumbuhan lainnya.

Bila musim kemarau tiba, banyak penduduk des aitu yang beralih profesi menjadi kuli atau membuat bata. Dari sekitar 1400 kepala keluarga yang menjadi penduduk des aitu, 800 kepala keluarga diantaranya adalah keluarga miskin. “hampir setengahnya penduduk di sini termasuk kategori miskin,” ujar Supardi, Kepala Desa Gandasari. Dikategorikan demikian karena pendapatan penduduk masih di bawah 500 ribu sebulan. Supardi menambahkan, walaupun penghasilan utamanya dari pertanian, tapi kondisi teknis pengairan di daerah itu cukup memprihatinkan.


Mungkin ada yang merasa aneh, di tengah peradaban modern seperti tampak gemerlap dalam siaran televisi, miskin artinya ada orang-orang yang masih susah untuk mendapat apa yang bisa dimakan. Tapi itulah kenyataannya.

Baca Juga : Hanya Karena Kehendak Allah 

Yani (56 tahun), seoerang Ibu di Gandasari itu, misalnya. Di depat rumahnya yang terbuat dari bilik bambu, terlihat padi yang sedang dijemur. Sehari-harinya Yani mengumpulkan sisa-sisa padi yang tercecer di sawah atau jalan Ketika musim panen tiba. Padi yang dikumpulkannya Bersama anak-anaknya sampai berhari-hari itulah yang menjadi makanan mereka sehari-hari. “Padi yang dikumpulkan ini yang buat dimakan, bukan untuk dijual lagi,” ujar Yani. Memang, selama seminggu gotong royong mereka bisa mengumpulkan  padi sekitar satu karung. Tapi hanya terjadi pada saat panen tiba. Dan itulah cadangan makan mereka hingga musim panen berikutnya.

Yani mengaku untuk bisa bertahan hingga melewati krisis panen pada musim kemarau, kadang mereka membeli nasi aking, mereka masak sayuran liar di sawah seperti genjer dan kangkong yang diminta dari pemilik sawah. Dengan penghasilan suaminya sekitar 10 ribu sehari, mereka benar-benar harus berbagi dengan enam orang anaknya di rumah itu. Jangankan makan daging, menurut Yani, Ikan bandeng saja sudah menjadi hidangan yang cukup mewah bagi Yani dan keluarganya.

Makanan Sisa

Di tempat lain di daerah Bekasi, siang itu. Di kampung Ujung Harapan yang hanya berjarak 30 km dari daerah pinggir Ibukota Jakarta, terlihat sebuah (Hal 54)  perayaan pesta pernikahan sederhana, makanan yang disajikan juga tidak terlalu mewah. Hanya ada sayur dan opor ayam sebagai makanan untuk tamu. Sekitar 5 anak-anak usia sekolah dasar bertelanjang kaki sibuk mengambil sisa para tamu menikmati hidangan. Namun mereka mengambil piring kotor bukan untuk dicuci. Mereka mengambil sisa-sisa makanan para tamu untuk mereka makan. Di tempat agak ke belakang dari para tamu, mereka kumpulkan sisa-sisa makanan untuk mereka santap lagi bersama teman yang lain. Sesekali terdengar celotehan mereka tentang apa yang di dapat, “Asyik, aku dapat sisa ayam yang masih banyak dagingnya.” 

Miris. Dengan penuh keriangan mereka terus melakukan aktifitasnya, mengumpulkan makanan sisa. Pemilik hajatan yang kondisi ekonominya tidak jauh lebih baik dari mereka juga tidak bisa mencegah karena memang anak-anak itu butuh makan. “Kalau di daerah sini ada hajatan pernikahan, pakai ayam itu sudah mewah. Biasanya cuma nasi sama sayur lodeh,” Kata Mak Iyus, Pemilik hajatan itu.

Baca Juga : Profesional 

Masih di Bekasi, tepatnya di daerah pemulung Bantar Gebang, Tarbawi menemui keluarga Awi (50 Tahun) ia dan lima anaknya tinggal di rumah yang lebih tepat disebut “bedeng” karena hanya terbuat dari sisa-sisa kayu. Penghasilannya yang tidak tetap sekitar 10 sampai 30 ribu sehari membuat bapak lima anak ini harus berpikir keras untuk bisa menghidupi keluarganya. Di dapurnya terlihat tumpukan batu bata yang sudah menghitam untuk dijadikan tempat perapian. “Pakai kayu untuk masak, soalnya minyak mahal,” kata istrinya. Menu keseharian mereka juga sangat sederhana. Yang Tarbawi lihat hanya gorengan tepung, sayur dan sedikit sambal. “Kalau pendapatan lagi sedikit ya makan nasi panas sama garam. Tapi alhamdulillahbiar gitu anak-anak tetap mau,” Keinginan untuk makan enak sih ada tapi kondisinya seperti ini bagaimana,” tambahnya.

Baginya bisa menyambung hidup dengan keluarganya sudah sangat disyukuri. “Biarpun miskin saya tetap bersyukur kepada Allah, yang penting cari makanan yang baik, biar anak-anak nggak sakit,” tambahnya. Makanya, Awi tidak pernah mengambil sisa-sisa sampah makanan yang memang ada di lokasi pembuangan sampah ini. “Kalau warga lain mungkin selalu mengambil sisa-sisa sampah makanan  untuk dimakan, tapi saya tidak mau ambil karena takut banyak penyakitnya. Asal sehat makan sama garam tidak apa-apa,” jelasnya.

Di sela-sela pembicaraan dengan Tarbawi, Dede, anak bungsu mereka minta makan. Tarbawi melihat Dede menyantap makan siangnya dengan lahap, kuah sayur berisi sedikit dedaunan, tepung goreng yang tak layak di sebut bakwan, dan sesekali dikerubungi lalat-lalat yang memang menjadi keseharian mereka di tempat pembuangan sampah.

Makan Nasi hanya Bisa Dua Kali dalam Seminggu

Di Bogor Selatan, menemui Mulyadi (60 tahun). Pekerjaan sehari-harinya penjual minyak wangi. Ia mengayuh (Hal 55) sepedanya ke daerah Empang, Bogor untuk menjajakan minyak wangi dengan menempuh kurang lebih 30 km setiap harinya. “Saya berjualan naik sepeda, karena tidak mampu menaiki angkot,” kata Mulyadi. “Sering juga pulang hanya mendapatkan  uang Rp 3.000. Kalau sudah begitu, biasanya saya meminta beras kepada saudara,” tambahnya.

Setelah menikah hampir 30 tahun. Ia dikaruniai 12 orang orang anak. Dua sudah bekerja. Empat masih bersamanya tinggal di rumah ukuran 2 x 4 M. Rumah itu warisan yang diterima istrinya. Tidak ada listrik, lantai rumahnya masih tanah. Hanya sedikit bagian yang disemen acik. Kalau ke MCK harus ke masjid. Enam orang anak lainnya meninggal dunia saat masih kecil. “Kata dokter anak-anak saya meninggal akibat kondisi kesehatan dan gizi mereka yang kurang baik. Mungkin karena asap lampu tempel kali ya? Juga kurang makanan bergizi,” jelasnya.

Baca Juga : Karena Syetan Itu Musuh 

“kalau mikirin anak-anak saya suka sedih,” tutur Mulyadi. “Untuk urusan makan, kami lebih prihatin. Dalam satu minggu hanya dua kali kami bisa makan nasi plus ikan asin bakar. Selebihnya makan bubur yang dibubuhi garam dan kecap,” katanya.

Menurut Mulyadi, anak-anaknya tumbuh dengan kondisi yang buruk. Mereka sering lesu. “mereka sering protes, kenapa sih makan bubur melulu?” Saya bilang,”Nanti kalau ada acara Rajaban kita bisa makan daging, Nanti kalau bapak ada rezeki, kita beli sayur.”

Mulyadi hanya punya harapan sederhana. “Kalau ada rezekinya saya ingin sekali anak-anak bisa makan nasi (Hal 56) setiap harinya. Saya ingin mereka bisa makan sayur, tempe, tahu dan daging ayam paling tidak seminggu sekali.

Mereka bisa makan sedikit enak kalau ada tetangga yang kasih, karena itu, anaknya yang bungsu sering bilang, ‘Kalau bisa makan seperti ini terus (seperti yang dikasih tetangga) enak kali ya pak.’

“Saya hanya bisa tersenyum, tapi hati rasanya teriris. Kami sangat jarang makan daging.” Saat seperti lebaran, ada acara Maulid, Rajaban atau kondangan kami baru bisa makan daging.” Karena itu, anak-anak Mulyadi sangat senang kalau musim Maulid dan Rajaban. Sebab, itu artinya saat untuk bisa makan daging telah tiba.

Ketika ditanya terkait dengan datangnya Ramadhan, Mulyadi dengan tatapan kosong menjawab,”Sebelum Ramadhan ini, saya ingin sekali membawa anak-anak ke rumah makan. Saya ingin mereka senang. Paling tidak sekali seumur hidup mereka, sebelum saya meninggal dunia. Anak yang bungsu pingin sekali makan di mall, sampai saat ini belum terkabulkan. Semoga mereka bisa bersabar.”

Baca Juga : Membaca Bahasa Cinta 

Pernah suatu hari semalaman, anak-anak Mulyadi tidak bisa tidur karena kelaparan. Paginya Mulyadi mengajak mereka jalan-jalan hanya untuk mengusir rasa lapar itu. Hal ini sudah beberapa kali ia lakukan. Begitu pun, ia tetap yakin kepada Allah, bahwa Dia lah yang memberikan rezeki. “Meski kondisi saya  seperti ini, saya berusaha bersabar dan tetap ridho kepada Allah. Sambil terus berusaha, saya berdoa semoga Allah memperbaiki keadaan kami.”

Makanan Impian

“Kalau saja ada sedikit rezeki, saya ingin belikan anak-anak telur dan ikan tongkol,” begitu kata Uju, seorang Ibu kepada Tarbawi, yang juga tinggal di sebuah kawasan di Bogor Selatan, ketika Tarbawi tanya makanan apa yang diimpikannya. Ternyata sangat sederhana. Uju, seorang pembantu rumah tangga. Anak-anaknya terindikasi gizi buruk.

Kehidupannya semakin sulit, setelah suaminya jatuh sakit. “Pernah satu hari penuh, kami sekeluarga tidak makan sama sekali. Hanya ketemu kerupuk. Suami saya bilang sama anak-anak, jangan terlalu sering main di luar. Nanti ngiri melihat banyak orang yang makan enak.” Dalam suasana seperti itu, Uju tetap menjaga diri. “Yang terpenting (Hal 57) adalah tetap menjaga rasa malu untuk meminta-minta apalagi sampai mencuri. Pantang.” Ujarnya.

Setahun setelah suami sakit Uju memutuskan untuk bekerja. “Saya harus membiayai kelima orang anak, satu diantaranya tubuhnya lemas. Karena kondisi makanan yang buruk. Suami juga tergolek lemas tak berdaya. Lama juga saya mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji 200 ribu per bulan.

Kondisinya semakin berat, ketika pada tahun 2007, suaminya meninggal dunia. Ia juga harus menanggung ibunya. Kelima anak itu kini menjadi tanggung jawab Uju sepenuhnya. Kecuali yang tersebar, sudah bekerja, bisa memberi tambahan 150.000.

“Uang itu ditambahkan dengan gaji saya yang 200.000, harus cukup untuk kebutuhan sehari-hari untuk tujuh orang. Sebenarnya, untuk seminggu saja tidak cukup. Meski begitu, saya berusaha teguh,” Jelas Uju.

Kondisi seperti ini membuat menu makanan anak uju benar-benar apa adanya.”Saya bilang sama anak-anak, ‘Nggak apa-apa nggak makan dengan lauk yang penting ada nasi.’ Itu yang selalu saya tanamkan.”

“Saya sering sedih, kalau melihat ada acara sinetron ada orang yang sedang makan di restoran. Anak-anak suka melihat dengan mata tajam, “Mak hayang itu (Mak mau itu.)’ Kalau sudah begitu, saya hanya bisa menangis.’Ya Allah semoga kau berikan kami rezeki yang cukup. Semoga para orang kaya itu ingat, kalau ada orang-orang tidak mampu di sekitar mereka.”

Tidak jauh berbeda dengan Uju, kehidupan Onasih atau biasa di sebut Emak juga memprihatinkan. Di gubuk ukuran 2 x 5 meter, ia tinggal bersama anak, menantu dan cucunya. “Sehari-hari emak lebih sering ketemu ikan asin, tahu, tempe. Biasanya emak bisa makan daging ayam setelah ada kiriman dari anak. Itu pun nggak tentu waktunya. Paling cepat sebulan sekali. Selebihnya kalau ada acara sedekahan, atau ada pemberian dari tetangga terdekat.

Baca Juga :  Kemudahan Yang Menyulitkan 

Uniknya, ada satu hal yang belum kesampaian hingga saat Tarbawi temui. “Emak ingin sekali mencicipi makan pizza. Sampai kebawa mimpi,” katanya. Emak sering lihat iklan pizza di televisi tetangga atau mendengar kelezatannya dari orang lain. “Kata orang pizza itu enak, Emak jadi pinggiiiin, deh,” katanya sambil tertawa.

Mungkin banyak orang yang merasa aneh. Bahwa di tengah kemajuan jaman yang riuh ini, miskin artinya bermimpi tentang makan telur dan daging. Dan entah kapan mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Mungkin banyak tidak sadar. Bahwa di tengah selera makan kita yang sok elit dan memilih-milih dengan rumit, miskin artinya mimpi membawa anak-anak untuk makan di rumah makan, meski sekali seumur hidup. Setidaknya menjadi kenangan bila kelak ayahnya telah tiada. Bukan kenangan tentang kemewahan. Tapi kenangan tentang cinta tulus dan kasih sayang orang tua. Meski sekadar dalam bentuk memberi makan yang enak, sekali saja. ***

 


Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar